SELAMAT DATANG


Mari Berbagi Pengetahuan
Indonesia dan Politik
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo

Laman

Selasa, 01 Mei 2012

Indonesia dan ACFTA



Latar Belakang

Indonesia telah berhasil memasuki periode konsolidasi menuju demokrasi dengan kesuksesan penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Presiden beberapa waktu lalu. Kini dengan terpilih kedua kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kita semua berharap bahwa proses konsolidasi demokrasi ini dapat diikuti dengan proses nyata menuju kemamuran dan kesejahteraan bangsa. Bagi setiap bangsa dalam mengelola kehidupan kebangsaannya termasuk upaya mencapai kesejateraan dan kemakmuran dituntut mampu mengelola dan menjawab tidak hanya tantangan atau persoalan di dalam negeri namun juga berbagai tantangan dan persoalan eksternal yang dihadapinya.
Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif yang merupakan buah pemikiran Bung  Hatta yang dicetuskan pada rapat KNIP di Yogyakarta tanggal 2 september 1948. Bebas aktif merupakan strategi terhadap koalisi internasional yaitu blok barat dan blok timur, Indonesia tidak memihak pada salah satu kekuatan politik di dunia. Politik bebas aktif mengandung dua unsur, bebas diartikan tidak terlibat pada suatu aliansi. Bebas menunjukkan nasionalisme yang tinggi, menolak keterlibatan maupun ketergantungan kepada pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan. Aktif diartikan bahwa Indonesia selalu menentang penjajahan dan memajukkan perdamaian dunia, seperti dalam UUD 1945. Pembukaan Politik luar negeri Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Dan UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
Suatu kebijakan tentunya tidak bisa berhenti pada keinginan belaka namun memerlukan suatu metode atau tindakan yang dilakukan guna mewujudkan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hal ini dengan kebijakan diplomasi menggunakan metode atau strategi diplomasi “sejuta kawan dan tidak ada musuh” yang dipilih untuk dapat mewujudkan tujuan kebijakan luar negeri. Pada tahapan inilah kita harus berbicara atas apa yang disebut sebagai proses dalam pengertian bagaimana pilihan metode kebijakan ini dapat benar-benar diimplementasikan secara nyata sebagai bentuk prakarsa Indonesia sebagai aktor dalam mencapai keinginan atau kepentingannya dalam system/konteks masyarakat internasional yang melingkupinya.

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengambilan keputusan politik luar negeri dalam suatu perjanjian ACFTA di Era Pemerintahan SBY jilid II?
2.      Bagaimana substansi dari kebijakan luar negeri?
BAB II
PEMBAHASAN

Presiden SBY tampaknya sangat menyadari pentingnya politik luar negeri ketika beliau berbicara tentang visi strategis era globalisasi ini. Dalam hal kebijakan luar negeri Presiden SBY menyinggung bahwa Indonesia akan menempuh ”all directions foreign policy”, dimana kita dapat menjalin hubungan persahabatan dengan pihak manapun untuk kepentingan nasional kita, baik dari pihak Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Kita bebas berkiprah menjalankan diplomasi dengan prinsip ”sejuta kawan, dan tak ada musuh” (a million friends, zero enemy).
Pada era Pemerintahan presiden SBY jilid II, pengambilan kebijakan terhadap politik luar negeri masih mendasarkan pada politik luar negeri sebelumnnya. Target politik luar negeri memperhatikan nilai yang harus tetap ditingkatkan di dalam negeri, sehingga tidak terjadi ketimpangan. Sebagai cerminan dari kehidupan demokrasi di Indonesia, Menlu menyatakan bahwa, “kebijakan politik luar negeri Indonesia saat ini lebih terbuka dan lebih transparan bagi para konstituennya. Kita perlu meningkatkan peran rekan kita dari civil society, media massa, akademisi dan konstituen lainnya dalam merumuskan isu-isu kebijakan luar negeri, sehingga setiap pihak memiliki peran dalam pengambilan kebijakan”, papar Menlu.
Misi pembangunan 2010-2014 adalah rumusan dari usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai Visi Indonesia 2014, yaitu terwujudnya Indonesia Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan, namun tidak dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan global dan domestik pada kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi pemerintah dalam periode 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai, serta meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis. Usaha-usaha Perwujudan Visi Indonesia 2014 akan dijabarkan dalam tiga misi pemerintah tahun 2010-2014 sebagai berikut:

Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera
Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi
Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di Semua Bidang

Penjelasan politik luar negeri telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang dijelaskan mengenai:
1.      Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia;
2.      Politik Luar Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional;
3.      Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Dalam pemerintahan SBY jilid II terdapat ciri-ciri khas PLNRI, yaitu:
1.      terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
2.       terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
3.       Prakmatis, kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
4.      TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.

Dalam pembahasan makalah kali ini kami menyoroti suatu isu yang tidak lama ini menjadi isu yang gencar dibicarakan oleh publik berupa suatu perjanjian dengan China dalam hal perdagangan yang lebih dikenal dengan China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) atau ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Perjanjian ACFTA yang diikuti Indionesia menjadi suatu kontroversi di ranah publik. Bagi mereka yang tidak menyetujuinya akan menyatakan bahwa ACFTA merupakan bencana yang dapat merugikan kalangan usaha di dalam negeri terutama dalam menghadapi arus gempuran produk China. Mereka khawatir akan banyak industri dalam negeri yang tidak mampu bersaing dengan industri asal China. Oleh karena itu, mereka telah menyerukan perlunya ACFTA untuk dinegosiasi ulang. Di balik adanya pertentangan terhadap perjanjian ACFTA, terdapat kalangan yang cenderung positif dengan menyatakan bahwa ACFTA justru akan membuka peluang bagi produk Indonesia untuk bersaing dan menembus pasar China. Pemerintah sendiri dalam hal ini tampaknya memilih menunjukkan sikap yang positif meneruskan ACFTA meski menyetujui untuk melakukan negosiasi ulang pada beberapa bagian tertentu dari kesepakatan tersebut.
Pertentangan mengenai perjanjian ACFTA sesungguhnhya telah menunjukkan sejumlah persoalan mendasar sejak dari perumusan substansi hingga proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri Indonesia. Kontroversi ACFTA dalam perumusan kebijakan luar negeri ini menuai berbagai persoalan yang mendasar dalam berbagai aspek. Pertama, seluruh kontroversi pelaksanaan ACFTA telah menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya menjadi substansi dari kebijakan luar negeri kita khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan internasional. Dalam konteks perundingan atau negosiasi ACFTA, berbagai kepentingan atau prioritas nasional di bidang ekonomi dan perdagangan di dalam negeri seharusnya menjadi tujuan dan substansi dasar dari kebijakan luar negeri di bidang ekonomi yang selanjutnya diperjuangkan melalui diplomasi sebagai perangkat pelaksana kebijakan luar negeri di dalam perundingan tersebut. Perlu kita sadari bahwa siapapun yang mewakili Indonesia dalam perundingan ACFTA tersebut tentunya menerima mandat dari pimpinan nasional sebagai pengambil keputusan kebijakan luar negeri yang tertinggi berdasarkan konstitusi. Akan tetapi, muncul kekhawatiran terhadap pimpinan nasional saat itu yang dianggap kurang memahami apa yang menjadi substansi kepentingan nasional dalam konteks perundingan ACFTA.
Dalam konteks persoalan ACFTA seharusnya perlu lebih dahulu dipahami maksud dari kesepakatan free trade area (FTA) atau perdagangan bebas. Free thrade area merupakan fenomena politik internasional yang diakibatkan oleh perdagangan bebas internasional. Fenomena ini juga semakin merebak terutama sejak terhentinya proses putaran perundingan Doha di WTO yang mendorong banyak negara untuk mencoba mencari mekanisme alternatif di luar kesepakatan perdagangan bebas secara global ala rezim WTO tersebut. FTA yang dicanangkan oleh Indonesia menjelaskan tentang perjanjian dagang Indonesia dalam kawasan regional. FTA ini yang mendasarkan Indonesia untuk mengadakan perjanjian dengan China sehingga muncul adanya ACFTA. Adanya FTA menjadi kekhawitiran munculnya efek spaghetti bowl (fenomena dimana terjadi begitu banyak kesepakatan perdagangan bebas antara berbagai negara yang cenderung menjadi tumpang tindih).
Dari pembahasan di atas terlihat jelas bahwa dengan adanya konsep FTA, setiap negara harus memahami secara komprehensif tentang apa yang menjadi tujuan strategis dari kesepakatan perdagangan bebas, serta manfaat strategis apa yang hendak dicapai bagi kepentingan ekonomi dan perdagangan nasionalnya masing-masing. Selain kesepakatan perdagangan bebas sebagai kensekuensi Negara tersebut harus mengurangi bentruk-bentuk proteksi terhadap industri.  maka pada akhirnya setiap perundingan atau negosiasi perdagangan bebas akan menuntut kesiapan dari setiap negara yang berpartisipasi untuk melakukan trade off (tukar menukar kepentingan sebagai langkah kompromi), sebagai upaya menjembatani antara kepentingan meningkatkan hubungan ekonomi yang menjadi tujuan kesepakatan perdagangan bebas dengan kepentingan untuk tetap melindungi industri di dalam negeri masing-masing.
Dalam negosiasi ACFTA adanya kontroversi lain yaitu,  ketidakjelasan dalam struktur dan pengambilan keputusan kebijakan luar negeri khususnya dalam konteks kerjasama ekonomi dan perdagangan internasional. Satu hal yang jelas adalah partisipasi Indonesia dalam ACFTA tentunya tidak bisa dilepaskan dari posisi Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN. Dalam hal ini maka keputusan untuk mengikuti negosiasi dapat diasumsikan telah didasarkan pada pertimbangan masak dari aparat pemerintah terkait terutama dari Kementerian Luar Negeri RI yang terlibat langsung dalam diplomasi pada kerangka ASEAN dengan para kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan atau Kementerian Perindustrian. Sejak timbulnya kontroversi memang terlihat bahwa Kementerian Perdagangan RI telah mengambil peran sebagai leading agency untuk menegosiasikan kembali beberapa bagian dari kesepakatan ACFTA yang dianggap merugikan. Namun kontroversi yang timbul setelah perjanjian ini akan diimplementasikan. Hal ini menunjukkan tidak adanya aspek transparansi dari proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan oleh pemerintah sejak awal perundingan hingga menjelang implementasi saat ini. 
Substansi ekonomi dalam negosiasi kesepakatan ACFTA dalam Proses negosiasi kesepakatan ACFTA, pangambilan keputusan para wakil perunding seakan tidak menyadari dan tidak mengantisipasi kesiapan kalangan industri di dalam negeri terhadap kesepakatan ACFTA saat negosiasi. Sehingga keputusan negosiasi tersebut dipandang tidak berpihak pada rakyat karena rakyat merasa dirugikan dengan adanya pengambilan keputusan masuk menjadi peserta ACFTA. Padahal bila dilihat lebih jauh lagi, Indonesia sulit untuk bersaing dengan China. Hal ini dilihat dari SDM dan teknologi kedua Negara. Sehingga keputusan tersebut banyak merugikan Indonesia dan lebih menguntungkan pihak China, karena China dengan bebas dapat memegang kendali terhadap perekonomian Indonesia dengan semakin banyaknya produk China yang menguasai pasar Indonesia. Jika hal ini tidak diantisipasi maka banyak produsen lokal akan gulung tikar dan berubah menjadi distributor maupun konsumen, karena China mampu bersaing dari segi harga dan kualitas. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kekisruhan dan kebingungan yang melanda publik maupun pemerintah di dalam negeri tersebut karena hal ini merupakan fenomena yang sangat sulit dipahami dalam konteks sistem politik yang demokratis, bebas dan modern.
Akhirnya, semua kontroversi pelaksanaan ACFTA ini memberikan peringatan yang bagi kita semua yang perlu diperhatikan dengan seksama. Di masa mendatang hendaknya pemerintah perlu lebih cermat dalam merumuskan suatu kebijakan luar negeri, apalagi jika terkait dengan negosiasi atau kesepakatan internasional yang akan memberikan dampak luas pada masyarakat di dalam negeri seperti di bidang ekonomi dan perdagangan. Pemerintah terutama perlu memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan di dalam negeri dengan berupaya lebih serius baik dalam melakukan konsultasi maupun dalam memperhatikan realita masyarakat di dalam negeri. Hanya melalui upaya konsultasi yang berkelanjutan inilah dapat diharapkan timbulnya kesatuan persepsi serta dukungan publik terhadap suatu kebijakan luar negeri.
Dalam hal ini disadari bahwa kebijakan luar negeri dalam bentuk apapun sesungguhnya memerlukan dukungan dan partisipasi dalam derajat tertentu dari masyarakat di dalam negeri. Kondisi ini menjadi semakin mutlak dalam suatu negara yang menganut sistem politik yang demokratis dan bebas. Selama satu dekade berjalannya reformasi, Indonesia secara konsisten telah mampu menunjukkan keberhasilan dalam membangun dan memelihara system politik yang demokratis sehingga mengundang banyak penghargaan dari masyarakat internasional.





BAB III
PENUTUP

Pengambilan keputusan atau pilihan kebijakan luar negeri sesungguhnya tidak dapat didasarkan hanya pada keinginan apalagi ambisi dari pimpinan atau pengambilan keputusan belaka. (Rizal Sukma, 2005). Namun, perlu didasarkan dari suatu proses yang obyektif dan penuh pertimbangan yang ketat. Tak kalah pentingnya untuk memahami proses perumusan kebijakan luar negeri melalui pemahaman atas elemen-elemen dasarnya yaitu aktor, proses dan sistem/konteks yang melingkupinya, serta bagaimana masing-masing elemen tersebut saling berinteraksi secara dinamis.
Dilihat dari keadaan Indonesia saat ini, politik luar negeri pemerintahan SBY jilid II terdapat kekurangan. Dalam hal ini politik luar negeri SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual politik luar negeri disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya poloitik luar negeri Indonesia  bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap politik luar negeri SBY dengan sebutan: It’s about Image, karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
Dari berbagai pembahasan di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah adanya persoalan ketidakjelasan wewenang masing-masing institusi pemerintah serta tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan dapat menjadi salah satu faktor yang menjelaskan minimnya konsultasi publik serta ketidaksiapan publik terhadap implementasi ACFTA. Politik luar negeri dalam suatu negara diletakan dalam kebijakan dan aksi yang saling berkesinambungan dan perubahaan yang saling berinteraksi. Dalam langkah pengambilan keputusan politik luar negeri menurut Snyder dalam essaynya “Foreign Policy Decision Making” dikatakan sedikitnya pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tiga faktor utama: lingkungan internal, struktur dan perilaku sosial, serta lingkungan eksternal. Pengambilan keputusan luar negeri yang kemudian oleh elite politik dijadikan arah bagi kebijakan dan aksi yang akan diambil. Seperti dalam halnya suatu sistem, proses transformasi input dan output merupakan pencerminan dari pengelolaan politik luar negeri sebuah negara. Dalam arus globalisasi yang berkembang, diperlukan kecermataan dalam pengambilan keputusan politik luar negeri Indonesia, sehingga pada akhirnya tidak merugikan kepentingan nasionalnya. Politik bebas aktif Indonesia seharusnya menjadikan Indonesia dapat berperan besar dalam rangka partispasinya di dunia Internasional di tengah-tengah arus globalisasi ini. Tidak hanya dalam hal itu saja, akan tetapi sebagai sebuah negara yang memilik sumber kekayaan alam yang besar, Indonesia berpotensi mempunyai kekuataan di dunia internasional. Maka kedua hal ini seharusnya dapat membawa Indonesia menempati posisi yang cukup kuat di mata internasional.
Sebaliknya perlu disadari bahwa kita hidup di era globalisasi ekonomi dengan ciri utama ekonomi pasar yang terbuka serta kompetisi bisnis yang sulit untuk dihindari. Dengan demikian masyarakat khususnya kalangan usaha juga harus menerima realita ini dan berupaya secara bersungguh-sungguh meningkatkan daya saingnya agar dapat berkompetisi secara global. Tanpa adanya kesungguhan semua pihak di dalam negeri untuk menyatukan persepsi dan mempersiapkan diri menghadapi persaingan global, maka setiap kali pemerintah menyepakati suatu kesepakatan internasional terutama di bidang ekonomi, energi kita akan lebih habis oleh rundungan kontroversi di dalam negeri tanpa henti.


DAFTAR PUSTAKA

www.google.com : ISIAS. “Kebijakan Luar Negeri RI di era Pemerintahan SBY jilid II: Pemahaman Terhadap Keinginan, Proses dan Konteksnya”, 09 Mei 2010.

www.google.com : ISIAS. “Kontroversi Pelaksanaan ASEAN-China Free Trade Area (CAFTA) Dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia”, diakses pada : 10 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar