SELAMAT DATANG


Mari Berbagi Pengetahuan
Indonesia dan Politik
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo

Laman

Selasa, 01 Mei 2012

Kuota 30% Perempuan di Parlemen


Kuota 30% Perempuan di Parlemen
Perempuan di Parlemen ,mengalami kemajan mengingat sebelumnya rezim Orde Baru telah menyingkirkan perempuan dari arena poitik. Selama Orde Baru organisasi-organisasi perempuan diarahkan pada kegatan-kegiatan sosial dan keluarga, serta diawasi ketat. Kelompok perempuan dalam usaha untuk  menambah jumlah kuota di parlemen lewat mekanisme pemilu yang demokratis menghadapi hambatan dan tantangan dari kalangan partai politik, baik pada tingkat pengurus partai maupun anggota parlemen.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 8, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat  2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.
Didik Supriyanto (dalam Politik dan Pemerintahan Indonesia, 2009 : 131) :
“Memperhatikan upaya-upaya kelompok perempuan (seperti diperankan Pokja Keterwakila Perempuan dan Ansipol, dengan dukungan riset dari Puskapol UI) dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen lewat proses penyusunan Undang-Undang Pemilu (yang kemudian menjadi UU. No. 10/2008), tampak jelas bahwa mereka dibebani isu-isu lain, sehingga mereka tidak bias fokus pada usaha memaksimalkan jumlah perempuan di parlemen setelah kebijakan 30% disetujui. Hal inilah yang menyebabkan kelompok perempuan menghadapi berbagai dilema dalam merumuskan variabel-variabel teknis pemilu.”
Tahap demokrasi dilihat dari keterwakilan perempuan di parlemen menurut saya masuk dalam tahap konsolidasi. Sebelumnya, dalam masa Orde Lama dan Orde Baru, keterwakilan perempuan di parlemen saat Orde Lama diperhitungkan di panggung politik, contohnya selain organisasi  juga muncul beberapa nama perempuan yang berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni, dua nama yang terkenal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat Orde Baru perempuan diarahkan pada kegiatan sosial dan keluarga, Masa transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus diawasi dan dipasung atas nama kepentingan negara. Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang “keperempuanan”. Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan penyumbang tenaga pada masyarakat. Salah satu organisasi yang terkenal pada masa itu adalah Dharma Wanita yang dikenal sebagai organisasi istri pegawai negeri. Organisasi ini juga terkenal dengan programnya yang disebut PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Demikian halnya dengan istri-istri ABRI juga tergabung dalam organisasi sesuai dengan bidang suaminya. Keberadaan organisasi perempuan semakin mendapat tempat seiring dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru.
Saat reformasi sampai saat ini, organisasi perempuan terus bermunculan dalam berbagai bentuk, partai politik pun tidak ketinggalan memasukkan unsur perempuan ke dalam bidang organisasinya maupun sayap organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya, Partai Golkar memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memikili Wanita Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki Perempuan Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki Departemen Urusan Pemberdayaan Perempuan (DUPP), Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki Perempuan Amanat Nasional. Namun demikian, perjuangan perempuan masih menemui jalan berliku karena hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik (lembaga legislatif) harus melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya mesin politik di Indonesia. Padahal, tidak semua partai politik berpihak kepada perempuan. Misalnya, rapat partai dilakukan pada malam hari hingga menjelang subuh. Keadaan ini menyulitkan bagi perempuan, yang secara tradisional terikat dengan beban kewajiban untuk menjaga anak dan melayani suami. Sehingga, hal tersebut menghambat perempuan untuk berperan di bidang politik.
Keterwakilan perempuan di parlemen dengan kuota 30% sudah menunjukkan adanya kebebasan dan hak-hak formal, ditunjukkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008. Artinya demokrasi sudah menyentuh untuk kaum perempuan yang ingin masuk dalam kursi parlemen. Perjuangan perempuan juga mengalami hambatan seperti partai lebih condong mengajukan calon laki-laki, metode penghitungan suara terbuka, masyarakat yang masih berpendirian perempuan hendaknya mengurus rumah tangga atau hanya mencari tambahan nafkah, bukan masuk dalam dunia politik, metode terbuka membuat bersaing dengan laki-laki dalam meyakinkan perempuan untuk dipilih.
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya menegakkan kesetaraan gender masih sulit namun sudah menginjak langkah awal. Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan oleh kaum perempuan sendiri, perjuangan tersebut juga memerlukan upaya yang sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi pembangunan. Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat .


Sumber :
Ramsey, Andy dan La Bakry, 2009, Politik dan Pemerintahan Indonesa. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar