Latar Belakang
Indonesia telah
berhasil memasuki periode konsolidasi menuju demokrasi dengan kesuksesan
penyelenggaraan Pemilu legislatif dan Presiden beberapa waktu lalu. Kini dengan
terpilih kedua kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kita semua
berharap bahwa proses konsolidasi demokrasi ini dapat diikuti dengan proses
nyata menuju kemamuran dan kesejahteraan bangsa. Bagi setiap bangsa dalam
mengelola kehidupan kebangsaannya termasuk upaya mencapai kesejateraan dan
kemakmuran dituntut mampu mengelola dan menjawab tidak hanya tantangan atau
persoalan di dalam negeri namun juga berbagai tantangan dan persoalan eksternal
yang dihadapinya.
Politik luar negeri
Indonesia adalah bebas aktif yang merupakan buah pemikiran Bung Hatta yang dicetuskan pada rapat KNIP di
Yogyakarta tanggal 2 september 1948. Bebas aktif merupakan strategi terhadap
koalisi internasional yaitu blok barat dan blok timur, Indonesia tidak memihak
pada salah satu kekuatan politik di dunia. Politik bebas aktif mengandung dua
unsur, bebas diartikan tidak terlibat pada suatu aliansi. Bebas menunjukkan
nasionalisme yang tinggi, menolak keterlibatan maupun ketergantungan kepada
pihak luar yang dapat mengurangi kedaulatan. Aktif diartikan bahwa Indonesia
selalu menentang penjajahan dan memajukkan perdamaian dunia, seperti dalam UUD
1945. Pembukaan Politik luar negeri Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Dan UU No. 24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional.
Suatu kebijakan
tentunya tidak bisa berhenti pada keinginan belaka namun memerlukan suatu
metode atau tindakan yang dilakukan guna mewujudkan tujuan kebijakan tersebut.
Dalam hal ini dengan kebijakan diplomasi menggunakan metode atau strategi diplomasi
“sejuta kawan dan tidak ada musuh” yang dipilih untuk dapat mewujudkan tujuan
kebijakan luar negeri. Pada tahapan inilah kita harus berbicara atas apa yang
disebut sebagai proses dalam pengertian bagaimana pilihan metode kebijakan ini
dapat benar-benar diimplementasikan secara nyata sebagai bentuk prakarsa
Indonesia sebagai aktor dalam mencapai keinginan atau kepentingannya dalam
system/konteks masyarakat internasional yang melingkupinya.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengambilan keputusan politik luar negeri dalam suatu perjanjian ACFTA di Era
Pemerintahan SBY jilid II?
2.
Bagaimana substansi
dari kebijakan luar negeri?
BAB
II
PEMBAHASAN
Presiden SBY tampaknya
sangat menyadari pentingnya politik luar negeri ketika beliau berbicara tentang
visi strategis era globalisasi ini. Dalam hal kebijakan luar negeri Presiden
SBY menyinggung bahwa Indonesia akan menempuh ”all directions foreign policy”, dimana kita dapat menjalin
hubungan persahabatan dengan pihak manapun untuk kepentingan nasional kita,
baik dari pihak Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Kita bebas berkiprah
menjalankan diplomasi dengan prinsip ”sejuta kawan, dan tak ada musuh” (a
million friends, zero enemy).
Pada era Pemerintahan presiden SBY jilid
II, pengambilan kebijakan terhadap politik luar negeri masih mendasarkan pada
politik luar negeri sebelumnnya. Target politik luar negeri memperhatikan nilai
yang harus tetap ditingkatkan di dalam negeri, sehingga tidak terjadi
ketimpangan. Sebagai cerminan dari kehidupan demokrasi di Indonesia, Menlu
menyatakan bahwa, “kebijakan politik luar negeri Indonesia saat ini lebih
terbuka dan lebih transparan bagi para konstituennya. Kita perlu meningkatkan
peran rekan kita dari civil society,
media massa, akademisi dan konstituen lainnya dalam merumuskan isu-isu
kebijakan luar negeri, sehingga setiap pihak memiliki peran dalam pengambilan
kebijakan”, papar Menlu.
Misi pembangunan 2010-2014 adalah
rumusan dari usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai Visi Indonesia 2014,
yaitu terwujudnya Indonesia Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan, namun tidak
dapat terlepas dari kondisi dan tantangan lingkungan global dan domestik pada
kurun waktu 2010-2014 yang mempengaruhinya. Misi pemerintah dalam periode 2010-2014
diarahkan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai,
serta meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan
demokratis. Usaha-usaha Perwujudan Visi Indonesia 2014 akan dijabarkan dalam
tiga misi pemerintah tahun 2010-2014 sebagai berikut:
Misi 1: Melanjutkan Pembangunan Menuju
Indonesia yang Sejahtera
Misi 2: Memperkuat Pilar-Pilar Demokrasi
Misi 3: Memperkuat Dimensi Keadilan di
Semua Bidang
Penjelasan politik luar negeri telah
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri yang dijelaskan mengenai:
1.
Hubungan Luar
Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau
lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia;
2.
Politik Luar
Negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang
diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional,
dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah
internasional guna mencapai tujuan nasional;
3.
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apa pun, yang diatur
oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek
hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada
Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Dalam
pemerintahan SBY jilid II terdapat ciri-ciri khas PLNRI, yaitu:
1.
terbentuknya
kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India,
dll).
2.
terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada
perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
3.
Prakmatis, kreatif dan oportunis, artinya
Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu
dan menguntungkan pihak Indonesia.
4.
TRUST, yaitu:
membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony,
security, leadership, prosperity.
Dalam pembahasan
makalah kali ini kami menyoroti suatu isu yang tidak lama ini menjadi isu yang
gencar dibicarakan oleh publik berupa suatu perjanjian dengan China dalam hal
perdagangan yang lebih dikenal dengan China
ASEAN Free Trade Area (CAFTA) atau ASEAN-China
Free Trade Area (ACFTA). Perjanjian ACFTA yang diikuti Indionesia menjadi
suatu kontroversi di ranah publik. Bagi mereka yang tidak menyetujuinya akan
menyatakan bahwa ACFTA merupakan bencana yang dapat merugikan kalangan usaha di
dalam negeri terutama dalam menghadapi arus gempuran produk China. Mereka
khawatir akan banyak industri dalam negeri yang tidak mampu bersaing dengan
industri asal China. Oleh karena itu, mereka telah menyerukan perlunya ACFTA
untuk dinegosiasi ulang. Di balik adanya pertentangan terhadap perjanjian
ACFTA, terdapat kalangan yang cenderung positif dengan menyatakan bahwa ACFTA
justru akan membuka peluang bagi produk Indonesia untuk bersaing dan menembus
pasar China. Pemerintah sendiri dalam hal ini tampaknya memilih menunjukkan
sikap yang positif meneruskan ACFTA meski menyetujui untuk melakukan negosiasi
ulang pada beberapa bagian tertentu dari kesepakatan tersebut.
Pertentangan mengenai perjanjian
ACFTA sesungguhnhya telah menunjukkan sejumlah persoalan mendasar sejak dari
perumusan substansi hingga proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri
Indonesia. Kontroversi ACFTA dalam perumusan kebijakan luar negeri ini menuai
berbagai persoalan yang mendasar dalam berbagai aspek. Pertama, seluruh
kontroversi pelaksanaan ACFTA telah menimbulkan pertanyaan tentang apa yang
sebenarnya menjadi substansi dari kebijakan luar negeri kita khususnya di
bidang ekonomi dan perdagangan internasional. Dalam konteks perundingan atau
negosiasi ACFTA, berbagai kepentingan atau prioritas nasional di bidang ekonomi
dan perdagangan di dalam negeri seharusnya menjadi tujuan dan substansi dasar
dari kebijakan luar negeri di bidang ekonomi yang selanjutnya diperjuangkan
melalui diplomasi sebagai perangkat pelaksana kebijakan luar negeri di dalam
perundingan tersebut. Perlu kita sadari bahwa siapapun yang mewakili Indonesia
dalam perundingan ACFTA tersebut tentunya menerima mandat dari pimpinan
nasional sebagai pengambil keputusan kebijakan luar negeri yang tertinggi
berdasarkan konstitusi. Akan tetapi, muncul kekhawatiran terhadap pimpinan
nasional saat itu yang dianggap kurang memahami apa yang menjadi substansi
kepentingan nasional dalam konteks perundingan ACFTA.
Dalam konteks persoalan
ACFTA seharusnya perlu lebih dahulu dipahami maksud dari kesepakatan free trade area (FTA) atau perdagangan
bebas. Free thrade area merupakan
fenomena politik internasional yang diakibatkan oleh perdagangan bebas
internasional. Fenomena ini juga semakin merebak terutama sejak terhentinya
proses putaran perundingan Doha di WTO yang mendorong banyak negara untuk
mencoba mencari mekanisme alternatif di luar kesepakatan perdagangan bebas
secara global ala rezim WTO tersebut. FTA yang dicanangkan
oleh Indonesia menjelaskan tentang perjanjian dagang Indonesia dalam kawasan
regional. FTA ini yang mendasarkan Indonesia untuk mengadakan perjanjian dengan
China sehingga muncul adanya ACFTA. Adanya FTA menjadi kekhawitiran munculnya
efek spaghetti bowl (fenomena dimana
terjadi begitu banyak kesepakatan perdagangan bebas antara berbagai negara yang
cenderung menjadi tumpang tindih).
Dari pembahasan di atas
terlihat jelas bahwa dengan adanya konsep FTA, setiap negara harus memahami
secara komprehensif tentang apa yang menjadi tujuan strategis dari kesepakatan
perdagangan bebas, serta manfaat strategis apa yang hendak dicapai bagi
kepentingan ekonomi dan perdagangan nasionalnya masing-masing. Selain
kesepakatan perdagangan bebas sebagai kensekuensi Negara tersebut harus
mengurangi bentruk-bentuk proteksi terhadap industri. maka pada akhirnya setiap perundingan atau
negosiasi perdagangan bebas akan menuntut kesiapan dari setiap negara yang
berpartisipasi untuk melakukan trade off (tukar menukar kepentingan sebagai
langkah kompromi), sebagai upaya menjembatani antara kepentingan meningkatkan
hubungan ekonomi yang menjadi tujuan kesepakatan perdagangan bebas dengan
kepentingan untuk tetap melindungi industri di dalam negeri masing-masing.
Dalam negosiasi ACFTA adanya
kontroversi lain yaitu, ketidakjelasan
dalam struktur dan pengambilan keputusan kebijakan luar negeri khususnya dalam
konteks kerjasama ekonomi dan perdagangan internasional. Satu hal yang jelas
adalah partisipasi Indonesia dalam ACFTA tentunya tidak bisa dilepaskan dari
posisi Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN. Dalam hal ini maka keputusan
untuk mengikuti negosiasi dapat diasumsikan telah didasarkan pada pertimbangan
masak dari aparat pemerintah terkait terutama dari Kementerian Luar Negeri RI
yang terlibat langsung dalam diplomasi pada kerangka ASEAN dengan para
kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan atau Kementerian
Perindustrian. Sejak timbulnya kontroversi memang terlihat bahwa Kementerian
Perdagangan RI telah mengambil peran sebagai leading agency untuk menegosiasikan kembali beberapa bagian dari
kesepakatan ACFTA yang dianggap merugikan. Namun kontroversi yang timbul
setelah perjanjian ini akan diimplementasikan. Hal ini menunjukkan tidak adanya
aspek transparansi dari proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan
oleh pemerintah sejak awal perundingan hingga menjelang implementasi saat
ini.
Substansi ekonomi dalam
negosiasi kesepakatan ACFTA dalam Proses negosiasi kesepakatan ACFTA,
pangambilan keputusan para wakil perunding seakan tidak menyadari dan tidak
mengantisipasi kesiapan kalangan industri di dalam negeri terhadap kesepakatan
ACFTA saat negosiasi. Sehingga keputusan negosiasi tersebut dipandang tidak
berpihak pada rakyat karena rakyat merasa dirugikan dengan adanya pengambilan
keputusan masuk menjadi peserta ACFTA. Padahal bila dilihat lebih jauh lagi,
Indonesia sulit untuk bersaing dengan China. Hal ini dilihat dari SDM dan
teknologi kedua Negara. Sehingga keputusan tersebut banyak merugikan Indonesia
dan lebih menguntungkan pihak China, karena China dengan bebas dapat memegang
kendali terhadap perekonomian Indonesia dengan semakin banyaknya produk China
yang menguasai pasar Indonesia. Jika hal ini tidak diantisipasi maka banyak
produsen lokal akan gulung tikar dan berubah menjadi distributor maupun
konsumen, karena China mampu
bersaing dari segi harga dan kualitas. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kekisruhan
dan kebingungan yang melanda publik maupun pemerintah di dalam negeri tersebut
karena hal ini merupakan fenomena yang sangat sulit dipahami dalam konteks
sistem politik yang demokratis, bebas dan modern.
Akhirnya, semua kontroversi pelaksanaan ACFTA ini memberikan
peringatan yang bagi kita semua yang perlu diperhatikan dengan seksama. Di masa
mendatang hendaknya pemerintah perlu lebih cermat dalam merumuskan suatu
kebijakan luar negeri, apalagi jika terkait dengan negosiasi atau kesepakatan
internasional yang akan memberikan dampak luas pada masyarakat di dalam negeri
seperti di bidang ekonomi dan perdagangan. Pemerintah terutama perlu
memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan di dalam negeri dengan berupaya
lebih serius baik dalam melakukan konsultasi maupun dalam memperhatikan realita
masyarakat di dalam negeri. Hanya melalui upaya konsultasi yang berkelanjutan
inilah dapat diharapkan timbulnya kesatuan persepsi serta dukungan publik
terhadap suatu kebijakan luar negeri.
Dalam hal ini disadari bahwa kebijakan luar negeri dalam
bentuk apapun sesungguhnya memerlukan dukungan dan partisipasi dalam derajat
tertentu dari masyarakat di dalam negeri. Kondisi ini menjadi semakin mutlak
dalam suatu negara yang menganut sistem politik yang demokratis dan bebas.
Selama satu dekade berjalannya reformasi, Indonesia secara konsisten telah
mampu menunjukkan keberhasilan dalam membangun dan memelihara system politik
yang demokratis sehingga mengundang banyak penghargaan dari masyarakat internasional.
BAB
III
PENUTUP
Pengambilan
keputusan atau pilihan kebijakan luar negeri sesungguhnya tidak dapat
didasarkan hanya pada keinginan apalagi ambisi dari pimpinan atau pengambilan
keputusan belaka. (Rizal Sukma, 2005). Namun, perlu didasarkan dari suatu
proses yang obyektif dan penuh pertimbangan yang ketat. Tak kalah pentingnya
untuk memahami proses perumusan kebijakan luar negeri melalui pemahaman atas
elemen-elemen dasarnya yaitu aktor, proses dan sistem/konteks yang
melingkupinya, serta bagaimana masing-masing elemen tersebut saling
berinteraksi secara dinamis.
Dilihat dari keadaan
Indonesia saat ini, politik luar negeri pemerintahan SBY jilid II terdapat kekurangan.
Dalam hal ini politik luar negeri SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah
di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah
orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual politik luar negeri
disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya poloitik
luar negeri Indonesia bisa menjadi media
penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang
menganggap politik luar negeri SBY dengan sebutan: It’s about Image, karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra
baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
Dari berbagai
pembahasan di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah adanya persoalan
ketidakjelasan wewenang masing-masing institusi pemerintah serta tidak adanya transparansi
dalam pengambilan keputusan dapat menjadi salah satu faktor yang menjelaskan
minimnya konsultasi publik serta ketidaksiapan publik terhadap implementasi
ACFTA. Politik luar negeri dalam suatu negara diletakan dalam kebijakan dan
aksi yang saling berkesinambungan dan perubahaan yang saling berinteraksi.
Dalam langkah pengambilan keputusan politik luar negeri menurut Snyder dalam
essaynya “Foreign Policy Decision Making” dikatakan sedikitnya pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh tiga faktor utama: lingkungan internal, struktur dan
perilaku sosial, serta lingkungan eksternal. Pengambilan keputusan luar negeri
yang kemudian oleh elite politik dijadikan arah bagi kebijakan dan aksi yang
akan diambil. Seperti dalam halnya suatu sistem, proses transformasi input dan output
merupakan pencerminan dari pengelolaan politik luar negeri sebuah negara. Dalam
arus globalisasi yang berkembang, diperlukan kecermataan dalam pengambilan
keputusan politik luar negeri Indonesia, sehingga pada akhirnya tidak merugikan
kepentingan nasionalnya. Politik bebas aktif Indonesia seharusnya menjadikan
Indonesia dapat berperan besar dalam rangka partispasinya di dunia
Internasional di tengah-tengah arus globalisasi ini. Tidak hanya dalam hal itu
saja, akan tetapi sebagai sebuah negara yang memilik sumber kekayaan alam yang
besar, Indonesia berpotensi mempunyai kekuataan di dunia internasional. Maka
kedua hal ini seharusnya dapat membawa Indonesia menempati posisi yang cukup
kuat di mata internasional.
Sebaliknya perlu disadari bahwa kita hidup di era globalisasi
ekonomi dengan ciri utama ekonomi pasar yang terbuka serta kompetisi bisnis
yang sulit untuk dihindari. Dengan demikian masyarakat khususnya kalangan usaha
juga harus menerima realita ini dan berupaya secara bersungguh-sungguh meningkatkan
daya saingnya agar dapat berkompetisi secara global. Tanpa adanya kesungguhan
semua pihak di dalam negeri untuk menyatukan persepsi dan mempersiapkan diri
menghadapi persaingan global, maka setiap kali pemerintah menyepakati suatu
kesepakatan internasional terutama di bidang ekonomi, energi kita akan lebih
habis oleh rundungan kontroversi di dalam negeri tanpa henti.
DAFTAR
PUSTAKA
www.google.com
: ISIAS. “Kebijakan Luar Negeri RI di era Pemerintahan SBY jilid II: Pemahaman
Terhadap Keinginan, Proses dan Konteksnya”, 09 Mei 2010.
www.google.com
: ISIAS. “Kontroversi Pelaksanaan ASEAN-China Free Trade Area (CAFTA) Dan
Kebijakan Luar Negeri Indonesia”, diakses pada : 10 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar