Kuota 30% Perempuan di
Parlemen
Perempuan di Parlemen ,mengalami kemajan mengingat sebelumnya
rezim Orde Baru telah menyingkirkan perempuan dari arena poitik. Selama Orde
Baru organisasi-organisasi perempuan diarahkan pada kegatan-kegiatan sosial dan
keluarga, serta diawasi ketat. Kelompok perempuan dalam usaha untuk menambah jumlah kuota di parlemen lewat
mekanisme pemilu yang demokratis menghadapi hambatan dan tantangan dari
kalangan partai politik, baik pada tingkat pengurus partai maupun anggota
parlemen.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 8, misalnya, menyebutkan
penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan
parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi
peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga
menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan
perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol
pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2
ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan
30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol
disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan
paling rendah 30%.
Didik Supriyanto (dalam Politik dan Pemerintahan Indonesia, 2009 : 131) :
“Memperhatikan upaya-upaya kelompok perempuan (seperti diperankan Pokja
Keterwakila Perempuan dan Ansipol, dengan dukungan riset dari Puskapol UI)
dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen lewat proses penyusunan
Undang-Undang Pemilu (yang kemudian menjadi UU. No. 10/2008), tampak jelas
bahwa mereka dibebani isu-isu lain, sehingga mereka tidak bias fokus pada usaha
memaksimalkan jumlah perempuan di parlemen setelah kebijakan 30% disetujui. Hal
inilah yang menyebabkan kelompok perempuan menghadapi berbagai dilema dalam
merumuskan variabel-variabel teknis pemilu.”
Tahap demokrasi dilihat dari keterwakilan perempuan
di parlemen menurut saya masuk dalam tahap konsolidasi. Sebelumnya, dalam masa
Orde Lama dan Orde Baru, keterwakilan perempuan di parlemen saat Orde Lama
diperhitungkan di panggung politik, contohnya selain organisasi juga muncul beberapa nama perempuan yang
berkiprah dalam bidang politik, antara lain Kartini Kartaradjasa dan Supeni,
dua nama yang terkenal dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat Orde Baru
perempuan diarahkan pada kegiatan sosial dan keluarga, Masa transisi dari Orde
Lama menuju Orde Baru merupakan saat yang sulit bagi pergerakan perempuan di
Indonesia. Organisasi perempuan dianggap sebagai salah satu elemen yang harus
diawasi dan dipasung atas nama kepentingan negara. Pada masa Orde Baru,
organisasi perempuan disentralisasi oleh negara di bidang “keperempuanan”.
Perempuan berperan sebagai istri pendamping suami, pendidik anak dan pembina
generasi muda, serta pengatur ekonomi rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang
bekerja di luar rumah, hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Selain
itu, kiprah perempuan di luar rumah juga difokuskan pada aktivitas sosial dan
penyumbang tenaga pada masyarakat. Salah satu organisasi yang terkenal pada
masa itu adalah Dharma Wanita yang dikenal sebagai organisasi istri pegawai
negeri. Organisasi ini juga terkenal dengan programnya yang disebut PKK
(Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Demikian halnya dengan istri-istri ABRI
juga tergabung dalam organisasi sesuai dengan bidang suaminya. Keberadaan
organisasi perempuan semakin mendapat tempat seiring dengan runtuhnya rezim
otoriter Orde Baru.
Saat reformasi sampai saat ini, organisasi perempuan
terus bermunculan dalam berbagai bentuk, partai politik pun tidak ketinggalan
memasukkan unsur perempuan ke dalam bidang organisasinya maupun sayap
organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya, Partai Golkar
memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) memikili Wanita Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki Perempuan
Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki
Departemen Urusan Pemberdayaan Perempuan (DUPP), Partai Amanat Nasional (PAN)
memiliki Perempuan Amanat Nasional. Namun demikian, perjuangan perempuan masih
menemui jalan berliku karena hingga saat ini untuk mencapai wilayah publik
(lembaga legislatif) harus melalui pintu partai politik sebagai satu-satunya
mesin politik di Indonesia. Padahal, tidak semua partai politik berpihak kepada
perempuan. Misalnya, rapat partai dilakukan pada malam hari hingga menjelang
subuh. Keadaan ini menyulitkan bagi perempuan, yang secara tradisional terikat
dengan beban kewajiban untuk menjaga anak dan melayani suami. Sehingga, hal
tersebut menghambat perempuan untuk berperan di bidang politik.
Keterwakilan perempuan di parlemen dengan kuota 30%
sudah menunjukkan adanya kebebasan dan hak-hak formal, ditunjukkan dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008. Artinya demokrasi sudah menyentuh untuk kaum
perempuan yang ingin masuk dalam kursi parlemen. Perjuangan perempuan juga
mengalami hambatan seperti partai lebih condong mengajukan calon laki-laki, metode
penghitungan suara terbuka, masyarakat yang masih berpendirian perempuan
hendaknya mengurus rumah tangga atau hanya mencari tambahan nafkah, bukan masuk
dalam dunia politik, metode terbuka membuat bersaing dengan laki-laki dalam
meyakinkan perempuan untuk dipilih.
Dengan demikian, perjuangan perempuan dalam upaya
menegakkan kesetaraan gender masih sulit namun sudah menginjak langkah awal.
Peningkatan jumlah anggota dewan perempuan dari periode ke periode belum mampu
mengentaskan kaumnya dari ketidaksetaraan gender yang dialami. Oleh karena itu,
perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak dapat dilakukan
oleh kaum perempuan sendiri, perjuangan tersebut juga memerlukan upaya yang
sistematis, terprogram, dan berkesinambungan pada semua sisi pembangunan.
Disamping itu, perjuangan tersebut juga memerlukan komitmen bersama dari para
pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, kaum
cendekiawan, beserta seluruh elemen masyarakat .
Sumber :
Ramsey, Andy dan La Bakry, 2009, Politik dan Pemerintahan Indonesa. Masyarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar